Minggu, 24 Juli 2011

HAID

Apakah Sah Akad Nikah Ketika Sedang Haid?

Posted by Admin pada 19/11/2009
Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu
Tanya: Apakah sah akad nikah yang dilakukan ketika si mempelai wanita sedang haid?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab:
Akad nikah wanita yang sedang haid adalah sah, tidak mengapa. Karena hukum asal dalam akad adalah halal dan sah kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sementara tidak ada dalil yang menyatakan haramnya akad nikah saat si wanita haid. Perlu diketahui adanya perbedaan antara akad nikah dengan talak. Talak tidak boleh dijatuhkan ketika istri sedang haid, bahkan haram hukumnya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah ketika sampai berita kepada beliau bahwa Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mentalak istrinya yang sedang haid, dan beliau perintahkan Abdullah untuk rujuk kepada istrinya dan membiarkannya tetap berstatus sebagai istri sampai suci dari haid, kemudian haid kembali, kemudian suci dari haid. Setelah itu terserah Abdullah, apakah ingin tetap mempertahankan istrinya atau ingin mentalaknya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ
Wahai Nabi, apabila kalian mentalak istri-istri kalian maka hendaklah kalian mentalak mereka pada waktu mereka dapat menghadapi ‘iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian….” (At-Thalaq: 1)
Dengan demikian tidak halal bagi seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula mentalaknya di waktu suci namun ia telah menggauli istrinya dalam masa suci tersebut, kecuali bila istrinya jelas hamil. Bila jelas hamilnya, ia boleh mentalak istrinya kapan saja dalam masa kehamilan tersebut.”
Syaikh mengakhiri fatwa beliau dengan menyatakan, “Bila telah jelas bahwa akad nikah yang dilangsungkan dalam keadaan si wanita haid adalah akad yang boleh dan sah, namun aku memandang hendaknya si mempelai lelaki tidak masuk kepada mempelai wanita (seperti tidur bersamanya, pent.) hingga si mempelai wanita suci dari haidnya. Karena kalau masuk sebelum istrinya suci dikhawatirkan ia akan jatuh ke dalam perkara terlarang saat seorang wanita sedang haid (yaitu jima’), sementara terkadang ia tidak dapat menahan dan menguasai dirinya, terlebih lagi bila masih muda. Hendaklah ia menunggu hingga istrinya suci. Setelah itu baru masuk ke istrinya dalam keadaan tidak ada penghalangnya untuk istimta’ (bersenang-senang) dengan istrinya pada kemaluannya. Wallahu a’lam.”
(Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin, 2/767, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/712-713)

HAID

Bolehkah Wanita Haidh Masuk ke Masjid ?


Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya wanita yang sedang haidh masuk masjid untuk suatu keperluan, misalnya mengikuti taklim? Sementara ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid kepada wanita yang haidh dan orang yang junub.”
‘Athiyyah, Purwokerto
Jawab :
Dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang berpendapat tidak boleh. Kata Imam Asy Syaukani: “Zaid bin Tsabit berpendapat boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid kecuali bila dikhawatirkan darahnya menajisi masjid. Al Imam Al Khaththabi menghikayatkan kebolehan ini dari Malik, Asy Syafi`i, Ahmad dan Ahlu dzahir. Sedangkan yang berpendapat tidak boleh adalah Sufyan dan Ashabur Ra’yi, dan pendapat ini yang masyhur dari madzhabnya Al Imam Malik.” (Nailul Authar, 1/320).
Namun yang kuat dari pendapat yang ada, wallahu ta‘ala a‘lam bisshawwab, wanita haidh dibolehkan masuk masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab beliau Al Muhalla (2/184-187), karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan akan hal ini, sementara Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalamtelah bersabda :
Sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Al Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Di masa hidupnya Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam ada seorang wanita hitam bekas budak yang biasa membersihkan masjid Nabi dan ia memiliki tenda di dalam masjid. Sebagai seorang wanita tentunya ia mengalami haidh namun tidak didapatkan adanya perintah Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalamagar dia keluar dari masjid ketika masa haidhnya. (Haditsnya disebutkan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya no. 439).

Selasa, 19 Juli 2011

Keutamaan sujud bagi kesehatan


RAHASIA SUJUD DALAM SHOLAT

Seorang doktor di Amerika telah memeluk Islam kerana beberapa keajaiban yang ditemuinya dalam penyelidikannya. Dia amat kagum dengan penemuan tersebut, sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran. Dia adalah seorang doktor neurologi. Setelah memeluk Islam, dia amat yakin akan pengobatan secara Islam dan dengan itu telah membuka sebuah klinik yang bertemakan "Pengobatan Melalui Al-Quran".

Kajian pengobatan melalui Al-Quran membuatkan obat-obatannya berpatokan apa yang terdapat di dalam Al-quran. Diantara cara-cara yang digunakan adalah berpuasa, mengkonsumsi madu, biji hitam (blackseed) dan sebagainya. Apabila ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam, maka doktor tersebut memberitahu bahwa semasa beliau melakukan kajian urat saraf, terdapat beberapa urat saraf di dalam urat manusia yang tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara normal. Setelah membuat kajian yang memakan waktu cukup lama, akhirnya beliau mendapati bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak manusia melainkan pada ketika seseorang itu sedang sujud saat mengerjakan Sholat. Urat tersebut memerlukan darah hanya untuk beberapa saat saja. Yakni, darah hanya akan memasuki urat tersebut mengikut kadar Sholat waktu yang diwajibkan oleh Islam.

Columbia University State pernah melakukan penelitian tentang otak. Ternyata, di otak terdapat sebuah bagian yang tidak teraliri darah. Tapi, bagian tersebut dapat teraliri darah bila kita melakukan gerakan khusus seperti sujud yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Walaupun tidak menyebutkan secara gamblang tentang waktu-waktu tersebut, tapi waktu-waktu tersebut berada sekitar Sholat Lima Waktu yang kita (Umat Islam) lakukan setiap hari. Efek dari teraliri-nya bagian dari otak tersebut adalah dapat membuat kerja otak menjadi maksimal. Sehingga, kemampuan otak dalam bekerja (seperti, menghitung, menghapal, belajar dan lain-lain) bisa lebih baik dan tentunya menambah kecerdasan otak kita.

Begitulah keagungan ciptaan Allah. Jadi barang siapa yang tidak menunaikan Sholat, maka otaknya tidak akan dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Dengan demikian, kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam 'sepenuhnya' kerana sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agama-Nya yang indah ini. Kesimpulannya: Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak Sholat, apalagi yang tidak beragama Islam, walaupun akal mereka berfungsi dengan secara normal tetapi sebenarnya dalam sesuatu keadaan mereka akan kehilangan keseimbangan dalam membuat keputusan yang normal. Justru itu, tidak heranlah jika manusia ini kadang kala tidak segan-segan untuk melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan fitrah kejadiannya, walaupun akal mereka mengetahui bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu adalah salah dengan kehendak mereka.
Inilah adalah menggambarkan ketidak mampuan otak mereka untuk mempertimbangkan akan perbuatan mereka itu secara lebih normal. Maka dari itu tidak heran timbulnya bermacam-macam gejala-gejala sosial masyarakat masa kini. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mengambil hikmah dari kisah di atas.

Senin, 18 Juli 2011

secangkirkopi pererat silaturohmi

waktu mustajabah

Waktu-waktu Mustajab untuk Berdoa

Alhamdulilllah, segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam ini. Dialah Yang Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dia pulalah Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui bahwa para hamba-Nya lemah sangat butuh terhadap pertolongan. Oleh karena itu, Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan mereka kepada-Nya apabila terpenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min: 60)
Para pembaca rahimakumullah, dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, dan berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Bahkan sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam para hamba-Nya yang enggan untuk berdoa kepada-Nya karena telah jatuh kepada sifat kesombongan.
Para pembaca, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Para dasarnya, kita boleh berdoa kapan dan dimana saja. Akan tetapi, di sana ada waktu-waktu tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk dikabulkannya doa. Oleh karena itu, pada edisi kali ini, kami akan menjelaskan beberapa waktu-waktu mustajab tersebut sebagai pelengkap dua edisi sebelumnya (5/II/VII/1430 dan 15/IV/VIII/1431) tentang adab dan syarat-syarat dalam berdoa. Semoga bermanfaat.
Di antara waktu-waktu tersebut adalah:
1. Malam (lailatul) Qadar
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah (doa):

« اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ».

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)
2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):
“Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ » .

“Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
3. Di akhir shalat fardhu
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

« جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ »

“Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata ((دُبُرَ)) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat?
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378:
“(( وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)) bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”
Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: “Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di ((دُبُر الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَات)), berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di ((دُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)), maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung-lambung kalian.” (An-Nisa`: 103)
4. Antara adzan dan iqamah
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ ».

“Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud)
5. Satu waktu di malam hari
Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ ».

“Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95)
6. Ketika terbangun di waktu malam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Kemudian mengucapkan:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari)
Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat  dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311)
7. Ketika dikumandangkannya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur
Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubra)
8. Suatu waktu pada hari Jum’at
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda:

« إِنَّ فِى الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا يُزَهِّدُهَا».

“Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi)
Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379)
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/378), berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya, dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad)
9. Ketika sujud
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ».

“Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim)
10. Doa pada hari Arafah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ».

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqy)
Penutup
Para pembaca rahimakumullah, doa adalah termasuk ibadah. Oleh karenanya, sudah semestinya kita mencukupkan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam pelaksanaannya. Suatu misal, jika kita mau menggunakan pembukaan ketika hendak berdoa, maka bukalah doa tersebut dengan pembukaan yang syar’i (yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bukan dengan pembukaan-pembukaan yang tidak syar’i (yang tidak ada tuntunannya), karena akibatnya fatal, doa kita bisa tidak dikabukan. Disisi lain, kita bisa menuai dosa karena telah mengadakan perkara yang baru dalam urusan  agama.

Minggu, 17 Juli 2011

keutamaan bulan romadhon

Keutamaan Bulan Ramadhan



Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu bahwasanya Nabi bersabda: “Ummatku telah diberi lima hal yang belum pernah diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya ketika bulan Ramadhan: 1) Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada minyak kesturi di sisi Allah, 2) Para Malaikat beristighfar untuk mereka hingga berbuka, 3) Allah memperindah Surga-Nya seiap hari, seraya berfirman kepadanya: “Hampir-hampir para hamba-Ku yang shalih akan mencampakkan berbagai kesukaran dan penderitaan lalu kembali kepadamu,” 4) Syaithan-syaithan durjana dibelenggu, tidak dibiarkan lepas ssepeerti pada bulan-bulan selain Ramadhan, 5) Mereka akan mendapat ampunan di akhir malam.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu terjadi pada malam Lailautl Qadar?” Beliau menjawab, “Bukan, namun pelaku kebaikan akan disempurnakan pahalanya seusai menyelesaikan amalanya.”1
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimain
Saudara-saudaraku, ini adalah lima perkara yang Allah persiapkan untuk kalian. Dengan lima perkara tersebut, kalian mendapat kekuhsusan dari Allah di atara ummat-ummat lainnya. Semua itu diberikan Allah untuk menyempurnakan berbagai nikmat-Nya kepada kalian. Sunnguh betapa banyak nikmat dan ketamaan yang telah Allah berikan kepada kalian, sebagaimana firman-Nya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS Al-Imran [3] : 110)
Perkara Pertama
Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum daripada harumnya minyak kesturi di sisi Allah.2 Kata ( ), huruf kha’-nya dibaca dengan fathah atau dhammah, artinya adalah perubahan bau mulut ketika lambung kosong dari makanan. Bau ini dibenci manusia, namun lebih wangi daripada minyak kesturi di sisi Allah sebab ia terlahir dari ketaatan kepada-Nya. Apa saja yang timbul dari ibadah dan ketaatan kepada Allah tentu akan dicintai oleh-Nya, serta pelakukan akan diberikan sesuatu yang lebih baik sebagai pengganti. Tidakkah engkau mengetahui bahwa orang yang mati syahid di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat-Nya itu akan datang pada hari Kiamat dengan darah yang mengalir, warnanya merah darah, namun baunya wangi minyak kesturi?
Perkara Kedua
Para Malaikat akan beristighfar untuk orang-orang yang mengerjakan ibadah puasa hingga mereka berbuka. Para Malaikat adalah hamba-Nya yang dimuliakan di sisi-Nya, sebagaimana Allah mensifati mereka dalam firman-Nya: “…Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66] : 6)
Maka dari itu, sungguh layak apabila Allah mengabulkan doa para Malaikat untuk orang yang berpuasa. Sebab mereka memang telah diizinkan untuk itu. Allah mengizinkan para Malaikat untuk beristighfar bagi mereka untuk mengangkat, meninggikan penyebutan, serta menjelaskan keutamaan puasa ummat ini. Makna istighfar adalah meminta ampunan, yaitu dengan menutupi dan memaafkan dosa, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah keinginan sekaligus tujuan tertinggi. Setiap anak Adam pasti sering berbuat kesalahan dan bersikap melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Sehingga mereka benarbenar membutuhkan ampunan Allah.
Perkara Ketiga
Allah mempeerindah Surga setiap hari sebagai persiapan untuk para hamba-Nya yang shalih dan dalam rangka memotivasi mereka untuk memasukinya. Allah berfirman kepada surge: “Hampir-hampir para hamba-Ku yang shalih mencampakkan beban dan penderitaan…” Yang dimaksud dengan hadits ini adalah mereka mencampakkan beban hidup di dunia dan susah payah serta pendeeritaannya lalu menyingsingkan lengan baju untuk mengerjakan amal-amal shalih yang dengannya mereka hidup bahagia di dunia dan akhirat dan dapat mengantarkan merreka ke Surga, negeri kedamaian dan kemuliaan.
Perkara Keempat
Syaithan-syaithan pembangkan diikat dengan rantai dan belenggu sehingga mereka tidak bias menyesatkan hambahamba Allah yang shalih dari kebenaran dan tidak dapat mencegah mereka dari kebaikan. Ini adalah salah satu bentuk pertolongan Allah kepada para hamba-Nya. Musuh ummat ini diikat sehingga tidak bias mengajak golongan mereka supaya menjadi penghuni Neraka yang menyala- nyala. Oleh sebab itu, dapat engkau saksikan bahwa pada bulan ini orang-orang shalih mempunyai keinginan yang lebih tinggi untk melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejelekan dibandingkan pada bulan-bulan lainnya.
Perkara Kelima
Allah mengampuni ummat Muhammad s pada setiap akhir malam bulan ini. Jika mereka melaksanakan apa yang seharusnya dikerjakan pada bulan yang mulia ini, berupa puasa dan shalat, maka Allah akan memberikan karunia dengan menyempurnakan pahala mereka ketika telah selesai mengerjakan amal-amal mereka. Sesungguhnya orang yang beramal akan disempurnakan pahala amalnya setelah selesai mengerjakannya. Allah memberikan karunia kepada para hamba-Nya dengan pahala dari tiga sisi:
Pertama: Allah mensyariatkan amal-amal shalih kepada mereka sebagai sebab terampuninya dosa dan terangkatnya derajat mereka. Sekiranya Allah tidak mensyariatkan hal itu, tentulah mereka tidak akan beribadah kepada-Nya dengan amal-amal shalih tersebut. Sebab ibadah tidak diambil melainkan dari wahyu Allah kepada Rasul-Nya.Oleh karena itu, Allah mengingkari orang-orang yang mengada-adakan syariat selain diri-Nya dan menjadikan hal tersebut sebagai kesyrikan. Allah berfirman:

yang berhak menerima zakat

8 Golongan Yang Berhak Menerima Zakat (Mustahiq)





Berdasarkan pada surat at Taubah ayat 58-60 tentang orang yang berhak menerima zakat, yaitu :

"... Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi fakir miskin, para amil, para muallaf yang dibujuk hatinya, mereka yang diperhamba, orang-orang yang berutang, yang berjuang di jalan Allah, dan orang kehabisan bekal di perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Jadi berdasarkan firman Allah Swt tersebut, terdapat 8 golongan yang berhak menerima zakat :

1. Fakir
Fakir yaitu orang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak meminta-minta

2. Miskin
Miskin adalah orang yang dalam kebutuhan dan suka meminta-minta.

3. Amil zakat
Amil zakat merupakan orang yang melaksanakan segala urusan zakat berupa pengumpulan dan penjagaannya, serta menghitung keluar masuknya zakat

4. Golongan muallaf
Muallaf dalam berbagai referensi terbagi dalam beberapa macam golongan, diantaranya :
  • Golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok serta keluarganya
  • Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya
  • Golongan orang yang baru masuk Islam
  • Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat kafir.
  • Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi imannya masih lemah.
  • Kaum Muslimin yang tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan musuh.
  • Kaum Muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan paksaan.

Sebagian besar orang biasanya mengartikan muallaf sebagai orang yang baru masuk islam

5. Memerdekakan budak belian
Ada beberapa cara untuk memerdekakan budak, diantaranya yaitu:

a. menolong hamba mukatab, yaitu budak yang memiliki perjanjian dengan tuannya, misalnya : ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka dia dibebaskan

b. Seseorang dengan harta zakatnya membeli seorang budak kemudian membebaskannya.

6. Gharimun
Gharimun adalah orang yang berhutang. Dan kta boleh menyerahkan zakat atas dasar fakirnya bukan karena hutangnya (Menurut Ibnu Humam dalam al Fath)
7. Mujahidin
Mujahidin merupakan orang yang berjihad di jalan Allah. Didalam Al-Quran digambarkan sasaran zakat yang ketujuh ini dengan firmanNya: "Di jalan Allah". Sabil berarti jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah, baik akidah maupun perbuatan. Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk bertakkarub kepada Allah, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat dan bermacam kebajikan lainnya.

8. Ibnu sabil
Ibnu sabil atau musafir, yaitu orang yang melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain. Menurut pendapat beberapa ulama, ibnu sabil mempunyai hak zakat, walaupun ia kaya, jika ia terputus bekalnya (kehabisan bekal).

zakat fitrah

Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Berdasar hadits berikut, Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. telah memfardhukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha’ tamar atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan beliau menyuruh agar dikeluarkan sebelum masyarakat pergi ke tempat shalat ‘Idul Fitri.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III :367 no:1503, Muslim II: 277 no:279/984 dan 986, Tirmidzi II : 92 dan 93 no: 670 dan 672, ‘Aunul Ma’bud V:4-5 no: 1595 dan 1596, Nasa’i V:45, Ibnu Majah I: 584 no:1826 dan dalam Sunan Ibnu Majah ini tidak terdapat “WA AMARA BIHA…”).
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat ‘id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat ‘id, maka itu adalah shadaqah biasa, (bukan zakat fitrah).” (Hasan : Shahihul Ibnu Majah no: 1480, Ibnu Majah I: 585 no: 1827 dan ‘Aunul Ma’bud V: 3 no:1594). 
Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah orang muslim yang merdeka yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk sehari semalam. Di samping itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya, anak-anaknya, pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan pokoknya.” (Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV: 161). 
Besarnya Zakat Fitrah
Setiap individu wajib mengeluarkan zakat fitrah sebesar setengah sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ gandum (jenis lain) atau satu sha’ susu kering, atau yang semisal dengan itu yang termasuk makanan pokok, misalnya beras, jagung dan semisalnya yang termasuk makanan pokok.
Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan setengah sha’ gandum, didasarkan pada hadits dari  ‘Urwah bin Zubair r.a., (ia bertutur), “Bahwa Asma’ binti Abu Bakar r.a. biasa mengeluarkan (zakat fitrah) pada masa Rasulullah saw., untuk keluarganya yaitu orang yang merdeka di antara mereka dan hamba sahaya – dua mud gandum, atau satu sha’ kurma kering dengan menggunakan mud atau sha’ yang biasa mereka mengukur dengannya makanan pokok mereka.” (ath-Thahawai II:43 dan lafadz ini baginya).
Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ selain gandum yang dimaksud di atas, mengacu kepada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum (jenis lain), atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ kismis. (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:371 no: 1506, Muslim II:678 no:985, Tirmizi II: 91 no :668, ‘Aunul Ma’bud V:13 no:1601, Nasa’i  V:51 dan Ibnu Majah I:585 no:1829).
Dalam Syarah Muslim VII:60 Imam Nawawi menegaskan, “Menurut mayoritas fuqaha tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (bukan berupa makanan pokok).”
Menurut hemat penulis sendiri, pendapat Imam Abu Hanifah r.a. yang membolehkan mengeluarkan zakat dengan harganya tertolak, karena ayat Qur’an mengatakan yang artinya, “Dan Rabbmu tidak pernah lupa.” (Maryam : 64).
Andaikata mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya atau uang dibolehkan dan dianggap mewakili, sudah barang tentu Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menjelaskannya. Oleh karena itu, kita wajib mencukupkan diri dengan zhahir nash-nash syar’I, tanpa memalingkan (maknanya) dan tanpa pula memaksakan diri untuk mentakwilkan. 
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kami) agar zakat fitrah dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat ke tempat shalat “Idul Fitri”. (Takhrij haditsnya lihat pembahasan Hukum Zakat Fitrah, beberapa halaman sebelumnya).
Bagi yang punya, boleh mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri. Sebab ada riwayat dari Nafi’, berkata, “Adalah Ibnu Umar r.a. menyerahkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya; dan kaum Muslim yang wajib mengeluarkan zakat mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri.” (Shahih : Fathul Bari III:375 no:1511).
Haram menunda pengeluaran zakat fitrah hingga di luar waktunya, tanpa adanya udzur syar’i. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah memfardhukan zakat fitrah (atas kaum Muslimin) sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya seusai shalat ‘Idul Fitri’, maka dari itu termasuk shadaqah biasa.” (Nash hadits ini sudah termaktub dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Zakat Fitrah hanya dialokasikan kepada orang-orang miskin saja. Ini didasarkan pada Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a., “Sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (Teks Arabnya termuat dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Shadaqah Tathawwu’
Sangat dianjurkan memperbanyak shadaqah tathawwu’, (shadaqah sunnah). Berdasar firman Allah SWT, “Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah:261).
Juga berdasarkan sabda Nabi saw., “Tidak ada suatu ketika segenap hamba berada di pagi hari melainkan dua puluh malaikat akan turun lalu salah seorang di antara keduanya berkata, Ya Allah berilah ganti kepada orang tersebut berinfak itu, dan yang lain berdo’a (juga), Ya Allah berilah kerusakan kepada orang yang enggan berinfak itu)." (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:304 no: 1442 dan Muslim II : 700 : 1010). 
Dan orang yang paling utama memperoleh shadaqah ialah keluarganya dan kerabatnya. Rasulullah saw. menegaskan, “Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah berfungsi sebagai shadaqah, sedang yang diberikan kepada kerabat (mempunyai) dua fungsi; sebagai shadaqah dan sebagai silaturrahmi (penyambung hubungan rahim)." (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no : 3835 dan Tirmidzi II: 84 no: 653).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 448 – 453.

Berikutnya >

hari hari puasa sunat

Puasa-puasa yg disunahkan adalah 1. Puasa arafah bagi yg tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa di hari arafah menghapus dosa dua tahun setahun yg silam dan setahun yg akan datang. . 2. Puasa asyura dan tasu’a. Yaitu dihari ke sembilan dan sepuluh bulan Muharam . Dan puasa Asyura itu menghapus dosa setahun yg telah lalu. . Tentang puasa tasu’a pada setahun sebelum beliau meninggal beliau bersabda Pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari ke sembilan. 3. Puasa enam hari di bulan Syawal Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dan meneruskannya di bulan enam hari di bulan Syawal maka seperti berpuasa sepanjang tahun. . 4. Puasa di bulan Sya’ban. Aisyah berkata ‘Aku tidak pernah melihat beliau lbh banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban. {HR Muslim} 5.sepuluh pertama bulan Dzulhijjah berdasarkan hadis Bukhari dan Muslim yg menerangkan bahwa tidak ada hari-hari yg amal shaleh lbh dicintai di dalamnya dari pada hari-hari sepuluh Dzul hijjah. 6. Puasa hari-hari putih yaitu pada tanggal 13.14. 15 pada tiap bulan hijriah. Puasa hari tersebut seperti puasa sepanjang tahun {sesuai dgn HR Nasa’i}. 7. Puasa hari Senin dan Kamis Sesungguhnya amal perbuatan diperlihatkan tiap hari Senin dan Kamis kemudian Allah mengampuni tiap orang muslim atau orang mukmin kecuali dua orang yg saling mendiamkan. Allah berfirman ‘ Tundalah pengampunan mereka berdua’. . 8. Puasa Dawud sehari puasa sehari tidak. Puasa sunah yg paling baik dan paling dicintai Allah. 9. Puasa bujangan yg belum mampu nikah. Wahai para pemuda Barang siapa mampu utk menikah maka hendaklah segera menikah. Karena hal itu lbh menjaga pandangan dan lbh menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu hendaklah ia berpuasa. Karena puasa adl wija’ {mengendurkan gejolak syahwat baginy

hukum lupa niat puasa romadhon

.
Pertanyaan
Apakah niat puasa Ramadhan harus diulangi ataukah cukup dengan satu kali niat saja untuk seluruh hari pada ?
.
Jawaban
Mufti Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad
.
Dalam syariat Islam, niat memiliki urgensi yang tinggi, karena niatlah yang menetapkan tujuan dan maksud seseorang dalam melakukan berbagai hal. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. pernah bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ لِمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan. Maka barang siapa yang melakukan kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya untuk tujuan dunia atau seorang yang ingin dinikahinya maka hijrahnya untuk apa yang dia maksudkan dengan hijrahnya itu.”
Berkaitan dengan niat pada puasa Ramadhan, Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum datang waktu fajar maka puasanya tidak sah.”
Tempat niat adalah dalam hati dan tidak disyaratkan mengucapkannya dengan lisan. Mengenai status niat; apakah merupakan syarat atau rukun dalam puasa, maka para ulama masih berbeda pendapat.
Sebagian imam mazhab berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan harus dilakukan setiap hari sepanjang bulan Ramadhan dan harus dilakukan pada malam hari (hingga terbit fajar) sebelum . Orang yang juga wajib menentukan jenis puasa yang hendak ia lakukan jika puasa itu adalah puasa wajib, yaitu dengan mengatakan, “Saya berniat puasa Ramadhan esok hari.”
Sedangkan mazhab fikih yang lain berpendapat bahwa kadar niat yang diharuskan adalah cukup mengetahui melalui hatinya bahwa ia akan berpuasa Ramadhan esok hari. Menurut mereka, waktu melakukan niat ini adalah sejak terbenam matahari hingga sebelum pertengahan siang (jika lupa melakukannya pada malam hari), di mana waktu siang yang tersisa lebih banyak daripada waktu yang telah terlewat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa cukup berniat sekali saja untuk puasa yang bersambung hari-harinya, seperti puasa Ramadhan.
Dengan demikian, maka jika seseorang dapat berniat puasa pada setiap malam bulan Ramadhan maka itu lebih afdal. Tapi, jika ia khawatir lupa maka hendaklah ia berniat pada malam pertama bulan Ramadhan bahwa insyaallah ia akan berpuasa Ramadhan sebulan penuh.
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan niat dalam puasa Ramadhan karena puasa tersebut merupakan puasa fardu. Maka selama seseorang telah melaksanakan puasa dengan menahan diri dari makan dan minum, maka puasanya tersebut sah.
Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam

tingkatan puasa romadhon

Tingkatan puasa itu menurut ahli tasawuf ada 3 yaitu :
1. Puasa Umum yaitu puasa perut dan syahwat; dengan mencegah makan, minum dan syahwat jima'.
2. Puasa Khusus yaitu puasanya mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan; dengan mencegah dari penglihatan, pendengaran, perkataan, gerakan-gerakan yang tidak terpuji bagi syara'.
3. Puasa Khususul Khusus yaitu puasanya hati atau qolbun.
Menurut Imam Al Ghazali puasa khususul khusus itu "puasanya hati". Hati puasa dari segala cita-cita yang rendah dan hina. Hati puasa dari segala fikiran duniawi. Hati mencegah dari selain Allah Ta'ala secara keseluruhan.
Orang yang mengerjakan puasa umum semata-mata; bagi puasa khusus, mereka itu belum puasa sama sekali.
Orang yang mengerjakan puasa umum dan khusus; bagi orang yang puasa khususul khusus, mereka itu belum puasa.
Bagi orang yang mengerjakan puasa umum; apabila mereka itu dengan sengaja makan atau minum atau jima', maka batal puasanya.
Bagi orang yang mengerjakan puasa khusus; apabila lisannya ghibah atau mengumpat orang, atau matanya melihat pemandangan yang makruh, atau telinganya mendengarkan kedustaan, maka batal puasanya.
Bagi orang yang mengerjakan puasa khususul khusus, apabila hatinya itu memikirkan sesuatu selain Allah Ta'ala, atau memikirkan dunia yang tidak ada hubungannya dengan Allah Ta'ala, atau tidak ada hubungannya dengan akhirat, maka batal puasanya.
Tiga macam tingkatan puasa inilah untuk mencapai derajat taqwalloh yang sebenarnya.

hukum puasa

Hukum Puasa

Segenap umat Islam sepakat bahwa puasa di bulan Ramadhan itu hukumnya fardhu (wajib). Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah:
ياأيها الذين ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيام كَمَا كُتِبَ عَلَى الذين مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)

Dalil dari hadits (sunnah) adalah sabda Rasulullah:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ. وذكر منها: صَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam dibangun di atas lima perkara, –disebutkan di antaranya– puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari).

Barangsiapa yang tidak berpuasa (ifthar) sekalipun satu hari di siang Ramadhan tanpa udzur (alasan yang dibenarkan syara’) maka ia telah melakukan satu dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang mimpi yang pernah ia saksikan:
حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ اْلجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ، قُلْتُ: مَا هَذِهِ اْلأَصْوَاتِ ؟ قَالُوا: هَذَا عَوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ اِنْطَلَقَ بِي، فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيْـبِهِمْ، مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ، تَسِيْلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يَفْطُرُوْنَ قبْلَ تَحِلَّةَ صَوْمِهِمْ.
“Sampai ketika aku berada di tengah gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara yang sangat keras. Maka aku bertanya, “Suara apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah teriakan penghuni neraka.” Kemudian dia (Jibril) membawaku pergi, tiba-tiba aku telah berada di hadapan suatu kaum yang digantung dengan kaki di atas dan sudut mulut mereka terkoyak, dari sudut mulut mereka bercucuran darah. Maka aku bertanya, “Siapa mereka?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum sampai waktunya.” (Shahihut Targhib wat Tarhib: 1/420)

Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sudah menjadi ketetapan bagi kaum muslimin, bahwa barangsiapa yang meninggalkan puasa tanpa udzur (syar’i) maka ia lebih buruk dari pada pezina dan pecandu khamar, bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya zindiq dan menyimpang dari agama.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila (seseorang) tidak puasa di bulan Ramadhan karena menganggap halal (meninggalkannya), karena perbuatannya itu maka ia wajib dibunuh, dan bila ia orang fasiq maka harus dihukum karena berbuka di siang hari bulan Ramadhan.” (Majmu’ Fatawa: 25/265)

faedah puasa

Berpuasa itu amat besar faedahnya bagi orang yang mengerjakannya, baik rohani maupun jasmani diantaranya:
  • Untuk menimbulkan rasa takwa dan syukur kepada Allah atau nikmat yang dilimpahkan-Nya, hingga terpelihara dari dosa dan maksiat
  • Mendidik perasaan kasih sayang terhadap fakir miskin, karena dengan berpuasa ia dapat merasakan sendiri lapar yang didera oleh orang-orang yang tidak berpunya itu. Dengan demikian mudahlah hatinya tergerak untuk menolong mereka, dan pertentangan antara si kaya dengan si miskin yang menyebabkan ketegangan dunia akan dapat diatasi
  • Mendidik sifat sabar dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup, karena ia telah biasa mengalami tidak makan dan tidak minum sewaktu berpuasa
  • Mendidik amanah dan dapat dipercaya. Puasa itu adalah amanah Allah yang tidak boleh dikhianati, walaupun yang berpuasa itu seorang diri dan tidak ada yang melihat perbuatan-perbuatannya.
  • Melatih otak dan fikiran supaya kuat dan tajam
  • Menjaga kesehatan badan, karena selama berpuasa alat-alat pencernaan kita diistirahatkan dari kerja keras yang mudah menimbulkan berbagai macam penyakit

puasa nisfu sa'ban

Apa Benar Tidak Diperbolehkan Puasa Tanggal 15 Sya'ban?

Pertanyaan:
Saya sudah biasa melaksanakan puasa Ayyamul Bidh pada setiap bulannya dengan izin Allah, Alhamdulillah. Dan pada bulan ini (Sya'ban) saat saya hendak berpuasa, ada seseorang yang menyampaikan kepada saya bahwa itu tidak boleh, termasuk bid'ah. Alasannya, dilarang berpuasa pada nisfu Sya'ban. Bagaimana persoalan ini yang sesungguhnya?
Pak Kris – Kav. Harapan Kita, Harapan Jaya, Bekasi Utara
Jawaban:
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala limpahan nikmat-nikmat-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Pertama, Allah Ta'ala mengharamkan berkata tentang agama Allah tanpa ilmu. Bahkan Allah menyejajarkannya dengan dosa syirik dan kumpulan dosa-dosa besar. Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui"." (QS. Al-A'raf: 33)
Dan di antara contoh berkata tentang Allah tanpa ilmu adalah seperti yang tercantum dalam pertanyaan, membid'ahkan puasa tiga hari pada bulan Sya'ban karena bertepatan dengan nisfu Sya'ban.
Kedua, disunnahkan berpuasa tiga hari setiap bulan. Paling utama dikerjakan pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
"Kekasihku (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam) mewasiatkan kepadaku tiga perkara yang tidak aku tinggalkan sampai aku meninggal: puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin 'Amru bin Al-'Ash, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya:
وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
"Dan sesungguhnya cukuplah bagimu berpuasa tiga hari dari setiap bulan. Sesungguhnya amal kebajikan itu ganjarannya sepuluh kali lipat, seolah ia seperti berpuasa sepanjang tahun." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Nasai)
Diriwayatkan dari Abi Dzarr Radhiyallahu 'Anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
"Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin berpuasa tiga hari dari salah satu bulan, maka berpuasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas." (HR. At Tirmidzi dan al-Nasai. Hadits ini dihassankan oleh al-Tirmidzi dan disetujui oleh Al-Albani dalam al-Irwa' no. 947)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Di dalam hadits disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu agar berpuasa tiga hari setiap bulan, lalu kapan dilaksanakan puasa tiga hari ini? Apakah harus dilaksanakan secara berturut-turut?
Beliau menjawab: puasa tiga hari ini boleh dikerjakan secara berturut-turut atau terpisah. Boleh dikerjakan pada awal bulan, di pertengahan bulan, atau pada akhirnya. Urusan ini cukup luas, dan segala puji bagi Allah, yang Rasulullah tidak (hanya) menetapkan (hari tertentu). 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pernah ditanya: Apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa tiga hari pada setiap bulannya? Beliau menjawab, "Ya". Lalu ditanyakan lagi, "Hari-hari apa saja yang biasanya beliau melaksanakan shaum?" Aisyah pun menjawab: "Beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak terlalu memperhatikan hari keberapa dari setiap bulannya beliau melaksanakan shaum." (HR. Muslim no. 1160) Namun (pelaksanaannya pada) tanggal 13, 14, dan 15 adalah lebih utama, karena hari-hari tersebut adalah ayyam al-Bidh (hari-hari putih)." (Majmu' Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin: no. 376)
Ketiga, Memperbanyak puasa pada bulan Sya'ban termasuk sunnah. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa memperbanyak puasa pada bulan ini. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Dari Abu Salamah, Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyampaikan kepadanya: "
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Adalah Beliau bersabda: "Kerjakan amal yang kamu mampu melakukannya, karena sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian merasa bosan".” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, Mungkin yang dimaksud oleh orang yang melarang tersebut adalah karena dia mengetahui kalau Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang berpuasa pada pertengahan Sya'ban.
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا
"Apabila sudah pertengahan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa." (HR. Abu Dawud no. 3237, al-Tirmidzi no. 738, dan Ibnu Majah no. 1651. Dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Tirmidzi)
Sesungguhnya larangan ini bagi orang yang baru memulai puasa pada pertengahan kedua dari Sya'ban, sementara dia tidak memiliki kebiasaan berpuasa. Tapi siapa yang telah berpuasa pada pertengahan pertama, lalu berlanjut puasa pada pertengahan kedua, atau dia punya kebiasaan puasa rutin, maka tidak apa-apa melaksanakan puasa pada pertengahan kedua, seperti orang yang biasa berpuasa tiga hari setiap bulan atau puasa hari Senin dan Kamis. Dari sini sangat jelas atas pertanyaan di atas, boleh berpuasa Ayyamul Bidh atau puasa tiga hari perbulan di bulan Sya'ban, walaupun bertepatan dengan tanggal 15 Sya'ban atau pertengahan kedua dari bulan Sya'ban.
Kelima, Mungkin juga yang dilarang adalah menghususkan puasa di Nishfu (Pertengahan) Sya'bannya. Jika demikian maka hal itu benar. Karena berdasarkan penelitian para ulama, tidak didapatkan hadits shahih dan contoh yang jelas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau menghususkan hari tanggal 15 di bulan Sya'ban untuk berpuasa. Sementara dalil yang sering dijadikan sebagai landasan dari puasa ini adalah hadits dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu secara marfu' kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا
"Apabila tiba malam nishfu Sya'ban maka berdirilah shalat pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya." (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1388, dan ini adalah hadits Maudlu'. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dhaif Sunan Ibni Majah, "Lemah sekali atau maudlu –palsu-" no. 1388, sedangkan dalam al-Dhaifah no. 2132, beliau menyatakan dengan tegas bahwa sanadnya maudhu'.)
Namun jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa pada Ayyamul Bidh (di antaranya pada tanggal 15-nya), maka hendaknya dia melakukan amal shalih tersebut sebagaimana pada bulan-bulan yang lainnya. Ia tidak boleh menghususkannya dan tidak boleh mengadakan perbedaan dengan bulan-bulan lainnya, baik dari sisi niat atau pelaksanaannya. Karena menghususkan waktu tertentu untuk ibadah itu harus dengan dalil shahih. Jika tidak ada dalil shahih, maka hal itu menjadi bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan.
Maka siapa yang memiliki kebiasaan puasa pada Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), silahkan dia melaksanakannya di bulan Sya'ban sebagaimana ia berpuasa pada bulan-bulan lainnya, tidak menghususkan hari itu. Terlebih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melakukan puasa dan memperbanyak puasa pada bulan ini, tetapi beliau tidak melakukan penghususan pada tangal 15-nya. Dan puasa pada hari itu seperti berpuasa pada hari-hari lainnya. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Hadis yg membolehkan orang yg junub berpuasa

عن عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ متفق عليه , وزاد مسلم من حديث أم سلمة : ولا يقضي

Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bangun di waktu subuh dalam keadaan junub karena hubungan suami istri kemudian beliau mandi dan berpuasa. Muttafaqun ’alaihi. Dan Imam Muslim menambahkan dari haditsnya Ummu Salamah: dan beliau tidak mengqadha puasanya.

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallahau Alaihi Wasallam mandi setelah shubuh datang. Ini bermakna bahwa di saat shubuh beliau masih dalam keadaan junub. Ini menunjukkan bahwa puasa sah walau dalam keadaan junub.

Jadi puasa anda dan suami anda sah, namun sebaiknya segera mandi janabah setelah bangun tidur supaya tidak ketinggalan waktu subuh.

puasanya orang janabah

Nah sekarang apa hukumnya mandi besar menjelang shaum. Ternyata untuk mandi besar sebelum puasa itu memang tidak diwajibkan dan tidak ada hukumnya harus bersuci dengan mandi besar. Dalam keadaan junub pun tidak masalah kita melaksanakan puasa. Ketika ada sepasang suami-istri di bulan Ramadhan tidak sempat wajib padahal adzan subuh sudah berkumandang itu sah-sah saja. Karena kewajiban bersuci dari hadas besar dalam hal di atas ditujukan bukan untuk shaumnya, melainkan untuk shalatnya. Hal tersebut diperkuat dari hadist Aisyah. Istri Rasul tersebut pernah mengatakan:

"Malam itu Rasul bersamaku. Ketika adzan subuh dikumangdangkan Bilal, aku tahu persis Rasul belum junub"

Hadist tersebut memperkuat bahwa ibadah shaum tak perlu suci dari hadas kecil dan besar. Jadi apabila ini dijadikan ketentuan, itu salah karena kita membuat aturan baru dalam agama, yang merupakan sebuah bid'ah. walaupun baik kita tidak bisa menjadikan sebagai ketentuan. yang baik itu sudah ditetapkan Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya.